Jumat, 21 Mei 2010

Manajemen Tata Ruang di Kabupaten Badung, Bali

KABUPATEN BADUNG, PROVINSI BALI
Oleh: Muhammad Hilmi

I.1 Pendahuluan

Pembangunan bagi sebuah Pemerintahan Daerah merupakan suatu keharusan dan hal yang sangat essensial dalam rangka mencapai tujuan utama dari keberadaan sebuah Pemerintahan Daerah yang otonom yaitu bagaimana mewujudkan kebahagiaan, kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Dalam konteks indonesia, tujuan dari dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945 adalah untuk melindungi segenap bangsa indonesia dari seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilaksanakanlah sejumlah program pembangunan yang terpadu dan merata diseluruh daerah Indonesia.
Keberhasilan dari pembangunan tersebut salah satunya akan sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan yang benar dan sesuai dengan kondisi lokal serta dalam mengembangkan perangkat kelembagaan yang akan menjadi infrastruktur utama dalam pelaksanaan pembangunan tersebut. Dalam konteks pelaksanaan Otonomi Daerah saat ini memberikan kewenangan lebih besar kepada Daerah dalam mengatur dan melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri, maka keberhasilan pembangunan akan sangat ditentukan oleh kemampuan dari Pemerintah Daerah dalam membuat dan mengimplementasikan kebijakan yang benar dan sesuai dengan kondisi daerahnya serta dalam mengembangkan perangkat kelembagaan yangdapat mendukung pelaksanaan pembangunan di Daerahnya masing-masing.
Namun demikian, pelaksanaan Otonomi Daerah yang diharapkan dapat menghasilkan pelayanan publik yang lebih efisien dan efektif ternyata tidak banyak menghasilkan wajah-wajah daerah yang menggembirakan. Tetapi justru lebih banyak menghasilkan wajah-wajah daerah yang menyedihkan terkait dengan jumlah permasalahan dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah tersebut. Meskipun demikian, terdapat sejumlah kecil daerah yang menunjukkan wajah yang menggembirakan terkait dengan keberhasilan mereka dalam melaksanakan sejumlah inovasi program yang terbukti mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik dan kesejahteraan yang diterima oleh masyarakatnya. Misalkan Kabupaten Jembrana, Kabupaten Badung, Kabupaten Sragen, Kabupaten Purbalingga serta sejumlah daerah lainnya.
Adalah merupakan suatu hal yang sangat menarik untuk mengetahui secara mendalam mengenai keberhasilan suatu Daerah dalam menerapkan manajemen perkotaan dalam rangka meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakatnya. Dalam hal ini, penulis ingin mengkaji Kabupaten Badung di Provinsi Bali yang merupakan salah satu Kabupaten yang berhasil mengelola daerahnya dengan menggunakan teknik menajemen perkotaan dalam bidang penataan ruang yang berprinsip pada "Trihita Karana".

2.1. Selayang Pandang Kabupaten Badung
Kabupaten Badung adalah kabupaten yang terletak di Provinsi Bali, Indonesia. Ibu kotanya berada di Mengwi, dahulu berada di Denpasar. Secara Geografi Kabupaten Badung terletak membujur dari Utara ke Selatan, hampir di tengah-tengah Pulau Bali. Kabupaten Badung berada pada koordinat : 08°14’17”- 08°50’57”LS, 115°05’02”-115°15’09”BT.

Visi dan Misi Kabupaten Badung
Dibawah kepemimpinan Bupati A. A. Gde Agung, SH, Pemerintah Kabupaten Badung telah mencanangkan visi dan misi yang menajdi arahan dalam pelaksanaan roda pemerintahannya. Visi dan misi tersebut tidaklah merupakan slogan semata, melainkan manjadi suatu hal yang senantiasa diupayakan untuk terwujud oleh segenap jajaran Pemerintah Kabupaten Badung saat ini.

Visi Kabupaten Badung
“Melangkah bersama membangun Badung berdasarkan "Trihita Karana" menuju masyarakat adil sejahtera dan ajeg.”Yang dimaksud dengan “Trihita Karana” sendiri adalah tiga pilar pembangunan yang diharapkan dapat berdiri secara bersamaan dan seimbang. 3 pilar ini kemudian diimplementasi dalam misi pembangunan daerah yang meliputi 3 bidang, yaitu bidang Ketuhanan, Sumber Daya Manusia (SDM) dan Wilayah.

Misi Kabupaten Badung
Untuk mewujudkan visi Kabupaten Badung tersebut, maka ditetapkan misi sebagai berikut:
Bidang Parahyangan
Peningkatan srada dan bhakti Masyarakat terhadapa ajaran agama, serta peningkatan eksistensi adat budaya dalam rangka mengajegkan Bali di era kekinian.
Bidang Pawongan
- Meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia di Badung.
- Menata sistem kependudukan dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat
- Meningkatkan perekonomian yang berbasis kerakyatan dan ditunjang oleh iklim kemitraan.
- Mewujudkan kepastian hukum serta menciptakan ketentraman & ketertiban masyarakat.
- Mewujudkan kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (Good Governance & Clean Government)
Bidang Pelemahan
- Memantapkan pelaksanaan Otonomi Daerah
- Mewujudkan pembangunan yang selaras & seimbang sesuai fungsi wilayahnya
- Melestarikan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.

2.2 Wilayah Administratif
Secara administratif Kabupaten Badung terbagi menjadi 6 (enam) Kecamatan masing-masing : Kuta Selatan, Kuta, Kuta Utara, Mengwi , Abiansemal, Petang. 16 Kelurahan, 46 Desa, 369 Banjar Dinas, 164 Lingkungan 8 Banjar Dinas Persiapan dan 8 Lingkungan Persiapan, Selain Lembaga Pemerintahan seperti tersebut di atas, di Kabupaten Badung juga terdapat Lembaga Adat yang terdiri dari 120 Desa Adat, 523 Banjar dan 523 Sekaa Teruna. Di Kabupaten Badung juga terdapat 1 BPLA Kabupaten dan 6 BPLA Kecamatan serta 1 Widyasabha Kabupaten dan 6 Widyasabha Kecamatan. Lembaga - lembaga adat ini memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan di wilayah Badung pada khususnya dan Bali pada umumnya. Masing-masing wilayah dikepalai oleh kepala wilayah:
Wilayah kecamatan dikepalai oleh Camat
Desa dikepalai oleh Kepala Desa (Perbekel)
Kelurahan dikepalai Lurah.
Desa Adat dikepalai oleh Bendesa.
Secara umum batas-batas wilayahnya sebagai berikut:
Sebelah Utara yang berbatasan dengan Kabupaten Buleleng
Sebelah Barat yang berbatasan dengan Kabupaten Tabanan
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bangli, Gianyar dan Denpasar.
2.3. Kependudukan
Berdasarkan Susenas 2004, jumlah penduduk Kabupaten Badung adalah sebanyak 358.311 jiwa (2004) dengan kepadatan 8.629,8 jiwa/km2.

2.4. Tenaga Kerja
Berdasarkan data dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kabupaten Badung (2008), jumlah penyerapan tenaga kerja oleh industri kecil pada tahun 2007 di sektor formal adalah sebanyak 10.765 tenaga kerja, dan di sektor informal adalah sebanyak 3400 tenaga kerja. Sedangkan pada tahun 2008 mengalami peningkatan yang cukup signifikan yaitu penyerapan tenaga kerja di sektor formal sebanyak 12.279 tenaga kerja dan di sektor informal adalah sebanyak 3400 tenaga kerja.

2.5. Pendidikan
Pendidikan di Kabupaten Badung dilaksanakan mulai dari pendidikan Pra Sekolah yaitu Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD/MI), SLTP/MTs, SMU/MA. Dan Perguruan Tinggi.
Pengembangan pendidikan di Kabupaten Badung diarahkan kepada :
1.Demokratisasi pendidikan
2.Skill life
3.Relevansi hasil lulusan dengan lapangan kerja.
Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun (usia 7 tahun s/d 15 tahun) yaitu 6 tahun di SD dan 3 tahun di SLTP/MTs telah dilaksanakan.
Pada tingkat pendidikan SLTP telah dirancang sistem MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah). Melalui sistem MPMBS ini maka pihak swasta dan masyarakat peduli pendidikan berperan aktif melalui wadah Dewan Sekolah (Komite Sekolah). Kurikulum yang diterapkan adalah kurikulum nasional dengan tambahan 20 persen muatan lokal.

2.6. Kesehatan
Dalam upaya memberikan pelayanan kesehatan yang optimal kepada masyarakat, Pemerintah Kabupaten Badung telah menyediakan sarana dan prasarana kesehatan yang tersebar di masing-masing kecamatan antara lain berupa Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) dan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Selain itu, di Kabupaten Badung juga terdapat Rumah Sakit standar internasional mengingat Kabupaten Badung merupakan tujuan utama wisatawan domestik maupun asing karena memiliki potensi wisata alam, budaya, dan bahari secara terintegrasi.
2. 7. Produk Hukum
Halaman ini menyajikan informasi tentang produk hukum baik berupa Peraturan Daerah (Perda) ataupun Peraturan Bupati (Perbup) atau produk hukum lain yang telah diterbitkan oleh Pemerintah Kabupaten Badung. Untuk lebih memudahkan dalam memperoleh informasinya, kami susun dalam kelompok tahun dikeluarkannya Produk hukum tersebut.




Produk Hukum Tahun 2005
Perda No. 5 Th. 2005 tentang PD Pasar Kabupaten Badung
Perda No. 6 Th 2005 tentang PDAM Kabupaten Badung

Produk Hukum Tahun 2006
Perda No. 4 Th 2006 Tentang Pajak Reklame
Perda No. 5 Th 2006 Tentang Retribusi Pengujian Berkala Kendaraan Bermotor




Produk Hukum Tahun 2007
Perda No. 4 Th 2007 Tentang Perangkat Desa Lainnya
Perda No. 5 Th 2007 Tentang Badan Permusyawaratan Desa
Perda No. 6 Th 2007 Tentang Tata cara Pencalonan, Pemilihan,
Pengangkatan, Pelantikan, dan Pemberhentian Prebekel
Perda No. 7 Th 2007 Tentang Perubahan atas Perda Kab. Badung
No. 7 Th 2002 Tentang Pajak Pengambilan Galian Golongan C.
Perda No. 12 Th 2007 Tentang Retribusi Penerbitan Surat Tanda
Keterangan Kapal (Pas Kecil) dengan Tonase Kotor Kurang dari 7 (GT< 7)
Perda No. 13 Th 2007 Tentang Retribusi Perijinan Bidang Kesehatan
Perda No. 16 Th 2007 Tentang Perimbangan Keuangan Kabupaten dan Desa
Perda No. 17 Th 2007 Tentang Keuangan Desa




Produk Hukum Tahun 2008
Perda No. 1 Th 2008 tentang Penanggulangan HIV dan AIDS
Penjelasan Perda No.1 Th 2008
Perda No. 2 Th 2008 Tentang Kelurahan
Penjelasan Perda No. 2 Th 2008
Perda No. 3 Th 2008 Tentang Lembaga Kemasyarakatan
Penjelasan Perda No.3 Th 2008
Perda No. 4 Th 2008 Tentang Urusan Pemerintahan yang menjadi Kewenangan Kabupaten Badung
Penjelasan Perda No. 4 Th 2008
Perda No. 5 Th 2008 Tentang Sistem Penyelenggaraan Pendidikan di Kabupaten Badung
Penjelasan Perda No. 5 Th 2008
Perda No. 6 Th 2008 Tentang Penataan, Pembangunan dan Pengoperasian Menara Telekomunikasi Terpadu di Kabupaten Badung
Penjelasan Perda No. 6 Th 2008
Perda No. 7 Th 2008 Tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Badung
Penjelasan Perda No. 7 Th 2008
Struktur Organisasi SKPD Kabupaten Badung


3.1. Program Kabupaten Badung dalam Membangun Wilayahnya dengan Konsep “Tiga Pilar Pembangunan/ Trihita Karana.”
Suatu rencana kota harus mempunyai tujuan-tujuan yang jelas. Perencanaan penggunaan lahan (land-use plan) merupakan inti dari perencanaan kota. Dengan menggunakan teori sistem, F. Stuart Chapin dan Edward Kaiser yang dikutip dari (Nurmandi; 2006), menggambarkan bahwa kota digambarkan sebagai sebuah sistem yang di dalamnya terdapat aktor-aktor dan sub-sistem yang berinteraksi satu sama lain, yaitu sistem aktivitas (activity system), sistem pembangunan lahan (land development system), dan sistem lingkungan (environmental system).
Sistem aktivitas atau kegiatan adalah cara individu atau lembaga-lembaga mengorganisasi kegiatan-kegiatan mereka sehari-hari di atas basis kebutuhan manusia (human needs) dan berinteraksi dalam waktu dan ruang. Wujud nyata dari interaksi yang berlangsung diantara mereka adalah adanya sistem transportasi dan media massa. Sistem transportasi menunjukkan adanya sistem pengaturan pergerakan manusia dari satu titik ke titik lain atau dari satu lokasi ke lokasi lain. Jarak sebuah sekolah dasar dari lokasi pemukiman, misalnya, menghendaki adannya pembangunan jalur transportasi di antara keduanya. Semua aktivitas lembaga dan individu dalam ruang kota merupakan kegiatan yang kompleks dan tergantung satu sama lain, yang dihubungkan oleh sistem transportasi kota. (Nurmandi; 2006).
Konfigurasi sistem pembangunan lahan memfokuskan pada proses konversi atau rekonversi ruang untuk kebutuhan manusia. Digambarkan oleh Chapin dan Kaiser bahwa aktor atau agen pembangunan lahan pemilik lahan (land owner), pengembang (developer), konsumen, lembaga keuangan (financial intermederiaris) dan instansi pemerintah.(Nurmandi; 2006).
Sistem konfigurasi ketiga adalah sistem lingkungan yang mencakup lingkungan abiotik dan biotik, yang secara keseluruhan menunjang proses kehidupan manusia. Dengan melihat sistem dan sub-sistem di dalamnya, maka dapat dipahami bahwa perencanaan guna lahan merupakan proses yang kompleks, yang menyinggung kepentingan banyak pihak yang terlibat di dalamnya, di mana setiap individu atau lembaga mempunyai kepentingannya sendiri dan saling berhadapan. Dalam hal ini pemerintah berfungsi sebagai pengatur dan pengartikulasi kepentingan umum.
Pemerintah Kabupaten Badung, dalam hal ini, berfungsi sebagai pengatur segala kepentingan yang saling berbenturan dan mengartikulasikan kepentingan-kepentingan umum dalam rencana guna lahan. Kepentingan-kepentingan umum (public interest) yang bagaimanakah yang harus diartikulasikan oleh Pemerintah Kabupaten Badung?. Kepentingan-kepentingan umum tersebut adalah:
Kesehatan dan keselamatan;
Kenyamanan;
Efisiensi;
Kualitas lingkungan;
Keadilan;
Ketenangan.
Dalam konteks ini, interaksi sosial atau integrasi sosial antar kelompok etnik yang ada harus menjadi pertimbangan penting dalam melakukan manajemen tata ruang di Kabupaten Badung.
Kesehatan dan keselamatan penduduk merupakan unsur kepentingan umum yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan rencana guna lahan. Secara geologis, seluruh lahan di suatu kawasan kota atau perkotaan mempunyai karakteristik geologis yang beragam. Begitu pula di Kabupaten Badung yang memiliki struktur geologis yang berbeda sehingga dalam rencana penyusunan rencana guna-lahan, studi-studi geologis pendahuluan sangat berguna untuk memberikan rekomendasi kepada perencana kota untuk mengalokasikan zona-zona mana saja yang aman untuk pemukiman.(Nurmandi; 2006).
Kenyamanan merupakan aspek kedua yang penting dalam perencanaan guna lahan. Yang dimaksud dengan kenyamanan di sini adalah adanya pertimbangan yang matang dalam mengalokasikan wilayah kota (zonasi) atas kawasan industri, kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, kawasan pertokoan, kawasan fasilitas sosial, kawasan pariwisata dan sebagainya. Penentuan masing-masing kawasan (zona) selain didasarkan pada studi geologis tanah, juga di dasarkan pada kenyamanan manusia yang menggunakan ruang kota. Keterjangkauan penduduk yang tinggal di kawasan pemukiman dengan kawasan pertokoan, kawasan industri dan fasilitas sosial harus menjadi pertimbangan penting. Jarak yang terlalu dekat antara dua kawasan tersebut akan mengakibatkan dampak negatif terhadap penduduk, terutama dampak lingkungan dari limbah padat dan cair atau polusi udara dari kawasan industri. Kawasan atau zona penyangga (buffer zone) biasanya diperlukan untuk mengimbas dampak negatif darri limbah industri yang terletak di antara kawasan pemukiman dan kawasan industri.(Nurmandi; 2006).
Efisiensi merupakan satu aspek penting dalam perencanaan guna lahan. Yang dimaksud efisiensi di sini adalah selisih optimal antara input dan output. Dalam perencanaan ruang, definisi ini sudah tentu sulit untuk diterapkan secara pasti. Namun, prinsip minimalisasi biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah dan penduduk harus menjadi pertimbangan utama. Distribusi kawasan perkotaan atau fasilitas sosial, sebagai contoh, harus mempertimbangkan keterjangkauan (accessibility) penduduk dari kawasan pemukiman tertentu. Semakin jauh yang harus ditempuh, maka semakin besar pula biaya dan waktu yang harus dikeluarkan. Dalam tinjauan ini, perencanaan sistem transportasi sebagai suatu unsur perencanaan tata ruang merupakan unsur yang sangat penting untuk mencapai tingkat efisiensi pergerakan penduduk dari satu titik ke titik lain. (Nurmandi; 2006).
Kualitas lingkungan menjadi pertimbangan penting pula dalam perencanaan tata guna lahan. Dampak lingkungan yang ditimbulkan dari adanya suatu kawasan industri menjadi pertimbangan penting sebelum ditentukan suatu kawasan menjadi kawasan industri atau tidak. Aliran udara, aliran limbah cair, dan lokasi pembuangan atau pengolahan limbah padat hendaknya dijadikan pertimbangan serius. Studi-studi hidrogeologi dan lingkungan merupakan studi yang harus dilakukan.
Aspek keadilan yang dimaksud adalah adannya pemerataan bagi semua golongan masyarakat untuk memanfaatkan ruang yang ada. Mantan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Rudini, sewaktu membuka seminar Manajemen Perkotaan di Surabaya, Mei 1992, menekankan perlunya penyusunan tata ruang yang demokratis, yaitu pelibatan sebanyak mungkin kalangan masyarakat untuk membahas rencana penentuan fungsi tanah (dan juga air) di perkotaan. Dengan demikian, kepentingan sebanyak mungkin pihak tertampung dan rencana tata ruang yang ditetapkan juga akan lebih baik. (Nurmandi; 2006).
Adanya partisipasi politik para warga kota dalam penyusunan rencana kota akan membawa dampak positif terhadap output yang akan dihasilkan. Warga kota harus mengetahui wawasan masa depan kota yang mereka tempati, yang dapat memenuhi kebutuhan material dan non-materialnya. Semua golongan masyarakat perlu dilibatkan sedemikian rupa dalam proses ini. Segregasi sosial dalam pemanfaatan lahan harus dihindari. Integrasi sosial perlu dilakukan sedemikian rupa, dimulai dari alokasi lahan yang relatif merata kepada semua golongan masyarakat, baik berdasarkan etnik maupun berdasarkan strata ekonomi.(Nurmandi; 2006).
Berikut ini adalah visi jangka panjang Kabupaten Badung dalam membangun daerahnya sesuai dengan tiga pilar utama dalam pembangunan yang dianutnya yaitu “Trihita Karana.”

3.2. “Trihita Karana” sebagai visi Pembangunan Kabupaten Badung
Visi jangka panjang pembangunan Kabupaten Badung adalah: Melangkah bersama membangun Badung berdasarkan “Trihita Karana” menuju masyarakat adil sejahtera dan ajeg. Yang dimaksud dengan “Trihita Karana” sendiri adalah tiga pilar pembangunan yang diharapkan dapat berdiri secara bersamaan dan seimbang. 3 pilar ini kemudian diimplementasi dalam misi pembangunan daerah yang meliputi 3 bidang, yaitu bidang Ketuhanan, Sumber Daya Manusia (SDM) dan Wilayah. Lingkup dari masing-masing bidang tersebut dirinci dalam MISI pembangunan Kabupaten Badung.
Bidang Parahyangan (ketuhanan):
Peningkatan srada dan bhakti masyarakat terhadap ajaran agama, serta peningkatan eksistensi
adat budaya dalam rangka mengajegkan Bali di era kekinian.
Bidang Pawongan (SDM):
Meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia di Badung dengan langkahlangkah,
a) Menata sistem kependudukan dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat,
b) Meningkatkan perekonomian yang berbasis kerakyata dan ditunjang oleh iklim kemitraan,
c) Mewujudkan kepastian hukum serta menciptakan ketentraman & ketertiban masyarakat,
d) Mewujudkan kepemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (Good Governance & Clean
government )
Bidang Palemahan (wilayah):
a) Memantapkan pelaksanaan Otonomi Daerah,
b) Mewujudkan pembangunan yang selaras & seimbang sesuai fungsi wilayahnya,
c) Melestarikan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup.
Dengan mencermati visi dan misi Kabupaten Badung tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa arah pembangunan kabupaten ini telah sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, yang secara substansial terangkum dalam 4 pilar, yaitu: pilar sosial, ekonomi, lingkungan dan good governance.

3.3. Implementasi Misi Pembangunan Dalam Rencana Tata Ruang Kabupaten Badung
Misi Bidang Parahyangan (Ketuhanan)
Peningkatan srada dan bhakti masyarakat terhadap ajaran agama, serta Pura di depan kantor Bupati Badung Pantai Kuta peningkatan eksistensi adat budaya dalam rangka mengajegkan Bali di era kekinian. Misi ini secara eksplisit sepertinya tidak memperlihatkan keterkaitan dengan aspek spasial pemanfaatan ruang, namun ternyata pemda Kabupaten Badung mampu mengimplementasikannya ke dalam strategi pengembangan sosial budaya, sumber daya manusia dan ekonomi yaitu:
1. Mengembangkan sikap masyarakat desa adat/pakraman dan awig-awig adat/pekraman agar selaras dengan arahan tataruang sehingga rencana tataruang wilayah kabupaten dapat diimpelamentasikan sesuai dengan ruang (desa), waktu (kala), dan keadaan setempat (patra);
2. Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang telah ada dan relevan menunjang keajegan Bali dan kesejahteraan penduduk lokal perlu lebih diberdayakan;
3. Pengembangan sarana-sarana keagamaan;
4. Pengembangan struktur ruang dan pola ruang yang mencirikan budaya Bali.

Misi Bidang Pawongan (SDM):
Meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia di Badung, diimplementasikan ke dalam strategi pengembangan sumber daya manusia yaitu:
1. Pembatasan terhadap kepadatan penduduk maksimum 200 jiwa/ha, khususnya di
Badung Selatan yang bertujuan untuk menjaga kelestarian lingkungan dan budaya setempat;
2. Peningkatan kualitas penduduk, menyangkut pendidikan, keterampilan, kesehatan untuk
meningkatkan produktivitas sumber daya manusia;
3. Peningkatan sumber daya manusia diprioritaskan pada kecamatan-kecamatan yang tingkat penduduknya tergolong rendah;
4. Meningkatnya kesadaran penduduk mengenai lingkungan hidup dengan jalan memberikan motivasi dan pembinaan mengenai lingkungan hidup.
Misi Bidang Palemahan (wilayah):
a) Memantapkan pelaksanaan Otonomi Daerah,
b) Mewujudkan pembangunan yang selaras & seimbang sesuai fungsi wilayahnya,
c) Melestarikan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup diimplementasikan ke dalam Strategi pengembangan wilayah Badung Utara, yaitu:
1. Menjaga kelestarian kawasan hutan lindung yang terdapat di Wilayah Badung Utara melalui
penetapan kawasan penyangga serta peningkatan peran serta masyarakat di sekitarnya untuk menjaga hutan lindung;
2. Menumbuhkembangkan kelembagaan usaha ekonomi
petani yang efektif, efesien, dan berdaya saing dengan didukung sarana dan prasarana yang memadai sehingga mampu mendorong pertumbuhan dan perkembangan kesejahteraan masyarakat;
3.4. Neraca Lahan
Kabupaten Badung memiliki komitmen yang sungguh sungguh dalam menjaga kelestarian lingkungannya. Itikad ini dinyatakan secara eksplisit dalam misi dan strategi pembangunannya. sebagaimana sudah dituliskan di atas. Namun tekad ini tidak akan berarti apabila tidak diwujudkan dalam keseimbangan pemanfaatan spasial wilayahnya. Karenanya penting untuk mengetahui neraca lahan yang dinyatakan dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Kabupaten. Neraca lahan Kabupaten Badung dirinci pada tabel 1. Dari tabel ini terlihat bahwa komitmen dalam menjaga kelestarian lingkungan di Kabupaten Badung telah dinyatakan dalam rencana tata ruang wilayahnya melalui perwujudan 59% kawasan yang berupa RTH. Implementasi neraca lahan kedalam matra ruang dapat dilihat pada gambar 1.
Tabel 1. Neraca Lahan Kabupaten Badung

sumber: http://www.badung.go.id
3.5. Kebijakan Pengembangan Wilayah Berdasarkan Kesesuaian Karakteristik Lahan
Pengembangan wilayah Kabupaten Badung didasarkan pada potensi dan kendala aspek fisik lingkungannya. Berdasarkan karakteristik topografi dan kelerengannya, wilayah kabupaten ini memiliki variasi yang sangat beragam, yaitu ketinggiannya antara 0 – 3.000 m dpl dengan kelerengan datar hingga jurang yang curam. Penataan ruang pada wilayah seperti ini relatif sulit dibandingkan dengan wilayah yang datar. Kondisi ini telah mendorong Pemda Kabupaten Badung untuk bersikap berhati-hati dan bijaksana dalam merencanakan pengembangan wilayahnya. Kabupaten Badung dibagi menjadi 3 Wilayah Pengembangan yaitu: Badung Utara, Badung Tengah dan Badung Selatan. Masing-masing wilayah memiliki perbedaan karakteristik fisik lingkungan yang mencolok.
Wilayah Badung Utara, merupakan kawasan pegunungan subur dengan hutan dan RTH yang luas, karena itu sesuai untuk fungsi konservasi lingkungan. Wilayah Badung Tengah, merupakan kawasan dengan ketinggian dan kesuburan sedang, karena itu sesuai untuk fungsi transisi antara fungsi lindung dan budidaya alamiah seperti pertanian. Wilayah Badung Selatan, merupakan kawasan yang datar, tidak subur dan pesisir. karena itu sepenuhnya sesuai untuk fungsi budidaya yang bersifat terbangun. Berikut ini rincian kebijakan pengembangan masing-masing wilayah.
A. Kebijakan pengembangan wilayah Badung Utara, antara Lain:
1. Mempertahankan Badung Utara sebagai kawasan resapan air dan konservasi lingkungan;
2. Menetapkan wilayah Kecamatan Petang sebagai Kawasan Agropolitan;
3. Mengembangkan pertanian sebagai budidaya utama yang berorientasi pada agribisnis;
4. Menetapkan wilayah Petang sebagai Objek dan Daya Tarik Wisata Khusus (ODTWK) Kabupaten.
B. Kebijakan pengembangan wilayah Badung Tengah, antara lain;
1. Mempertahankan wilayah Badung Tengah sebagai kawasan pertanian dalam arti luas;
2. Menetapkan kawasan perkotaan Mengwi sebagai Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) dan Ibukota Kabupaten serta kawasan perkotaan Blahkiuh sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL);
3. Mengembangkan sarana dan prasarana wilayah skala kabupaten;
4. Mengembangkan potensi kegiatan Industri Kecil dan menengah (IKM) yang ramah lingkungan serta berorientasai pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.
C. Kebijakan pengembangan wilayah Badung Selatan, antara lain:
1. Menetapkan kawasan Nusa Dua, Tuban dan Kuta sebagai kawasan pariwisata.
2. Mensinkronkan penataan ruang wilayah Kabupaten dengan pengembangan penataan
ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita;
3. Menetapkan kawasan perkotaan Kuta sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) Orde K1
dan Kawasan Perkotaan Benoa sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL);
4. Mengembangkan sarana dan prasarana pelayanan umum yang berkualitas;
5. Meningkatkan kualitas lingkungan sebagai asset utama kepariwisataan yang berkelanjutan;
6. Mempertahankan keberadaan kawasan lindung serta mengendalikan pembangunan pada kawasan rawan bencana.
7. Memantapkan pengelolaan kawasan pesisir dan laut secara terpadu Keseimbangan Aspek Sosial Budaya Dan Lingkungan Dalam Tata Ruang Kepercayaan masyarakat Bali dengan mayoritas agama Hindu memiliki tatanan cara ibadah dan budaya yang khas. Budaya yang terbentuk dalam lingkungan masyarakatnya merupakan kombinasi antara ketaatan beribadah dan pernyataan syukur kepada Sang Pencipta yang berwujud tindakan pemeliharaan terhadap alam ciptaan-Nya. Budaya ini secara prinsip merupakan modal sosial yang sangat bermanfaat dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan pemahaman yang mendalam terhadap budaya masyarakatnya, Pemda Badung telah mewujudkannya dalam pengendalian pemanfaatan ruang, berupa peraturan zonasi untuk kawasan suci dan kawasan tempat suci. Peraturan zonasi pada dua kawasan ini antara lain dinyatakan:
Pengendalian secara ketat pembangunan di dalam kawasan suci,
Pura sada kahyangan dengan radius kesucian sekurang-kurangnya 5 kilometer dari sisi luar penyengker pura.
Pura dang kahyangan dengan radius kesucian sekurang-kurangnya 2 kilometer dari sisi luar penyengker pura,
Pura kahyangan jagat, pura tiga dan pura swagina dengan radius kesucian sesuai ditetapkan dalam Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat dan/atau awig awig desa adat/pekraman setempat.

3. 6. Sektor Pertanian
Pembangunan sektor pertanian di Kabupaten Badung terutama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu pengembangannya juga diarahkan untuk menunjang sektor pariwisata, karena keanekaragaman sumber pangan yang ada di daerah ini juga dapat memberikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan domestik maupun internasional.

3.7. Industri Kecil & Kerajinan Rumah Tangga
Pembangunan sektor industri di wilayah ini diarahkan pada pembangunan dan pengembangan sektor industri kecil dan kerajinan rumah tangga terutama industri kecil dan kerajinan yang menunjang sektor pariwisata, dan selebihnya dikembangkan untuk tujuan ekspor dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Beberapa industri kerajinan khas yang terdapat di daerah ini antara lain : Kerajinan Patung kayu, Keramik dan Terakota, Industri Tedung (payung), Industri Anyaman Bambu, Industri Meubel dari Bongkol Kepala, Kerajinan Perak, Kerajinan Dulang, Kerajinan Besi dan Kerajinan Uang Kepeng.
Di Kabupaten Badung juga terdapat sentra industri yang terdiri dari Sentra Industri Industri Barang dari Karet, Industri Alat Komunikasi, Industri Pelumatan Buah-buahan, Jasa Binatu , Industri Profil, Industri Rajutan / Bordir, Industri Tenun / Percetakan kain, Industri Lukisan, Industri Alat Dapur, Industri Alas Kaki, Industri Logam Mulia, Industri Pakaian Jadi, Industri Kertas Rumput, Industri Pengolahan Plastik, Industri Pupuk, Industri Kosmetik, Industri Alat Musik , Percetakan, Industri Tempat Lilin, Industri Dupa, Industri Batik, Industri Sabun, Pembersih Kaca ,Industri Anyaman, Industri Pengawetan Daging, Industri Es, Industri Daur Ulang, Industri Kasur, Industri Besi (Pande), Industri Kulit, Industri Penyosohan, Industri Kacang-kacangan, Industri Tepung, Industri Tahu Tempe, Industri Pengolahan Teh dan Kopi, Industri Bumbu Masak, Industri Minuman, Industri Makanan, Industri Minyak Kelapa, Industri Telor Asin, Industri Peti Kemas, Industri Moulding/Kusen, Industri Kimia, Industri Gergaji Kayu, Industri Furniture, Industri Ukiran ,Industri Kerajinan, Industri Semen, Industri Roti dan sejenisnya,Industri Tanah Liat, Industri Tedung.
Keberadaan Sentra Industri di Kabupaten Badung ini sangat mendorong tingkat perekonomian dan kesejahteraan masyarakatnya. Industri ini berdiri sebagai dampak dari Multiplier effect dari adanya industri jasa pariwisata yang terintegrasi dengan Kabupaten lainnya di Provinsi Bali. Keberadaan sentra Industri ini merupakan penggerak sektor perekonomian masyarakat Badung yang sangat diperhatikan dan bina oleh Pemerintahan daerah termasuk dalam hal pemasarannya.

3.8. Sektor Ekonomi dan Pariwisata
Kabupaten Badung sejak tahun 2003-2007 selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. PDRB tahun 2007 adalah sebesar 9.799,21 milyar rupiah (harga berlaku), dan sebesar 4.850,13 milyar rupiah (harga konstan). Dengan demikian, berarti kinerja perekonomian Kabupaten Badung sampai dengan tahun 2007 mengalami peningkatan rata-rata sebesar 16,92 % (harga berlaku) dan sebesar 6,34 % (harga konstan), setiap tahunnya. Distribusi sektor – sektor dominan dalam struktur PDRB Kabupaten Badung berturut-turut adalah sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 45,19 %; angkutan dan komunikasi sebesar 25,17 % kemudian disusul sektor pertanian 9,01 %. Pendapatan perkapita penduduk tahun 2007 sebesar 21,56 juta rupiah (harga berlaku) dan 11,91 juta rupiah (harga konstan). Angka ini merupakan angka terbesar se-Propinsi Bali. Berdasarkan distribusi sektor PDRB tersebut di atas, sektor pariwisata merupakan sektor andalan Kabupaten Badung, hal ini dimungkinkan karena dukungan potensi sumber daya alamnya. Bermodalkan potensi fisik Lingkungan yang berkontur dengan variasi ketinggian 0 – 3000 m dari muka laut, membuat Kabupaten Badung memiliki ragam bentang alam yang kaya, mulai dari rona pantai hingga Pegunungan.
Maka dengan potensi ini tidak mengherankan bila Kabupaten Badung merupakan tempat tujuan wisata utama di Pulau Bali. Obyek-obyek wisata ini sebagian besar berada di kawasan Badung Selatan, seperti kawasan Kuta dan Nusa Dua.


Obyek dan Daya Tarik Wisata
Obyek dan daya tarik wisata menarik yang biasa dijadikan obyek wisata di Kabupaten Badung meliputi wisata alam maupun buatan, seperti : Air terjun Nungnung, Atraksi Makotek, Ayung Rafting, Bumi Perkemahan Dukuh, Blahkiuh, Bungi Jumping, Desa Petang, Desa Wisata Baha, Garuda Wisnu Kencana (GWK), Geger Sawangan, Kawasan Nusa Dua, Mandala Wisata, Monumen Tragedi Kemanusiaan, Panggung Kesenian Kuta Timur, Pantai Canggu, Pantai Jimbaran, Pantai Kedonganan, Pantai Kuta, Legian, Seminyak, Pantai Labuan Sait, Pantai Nyang-Nyang, Pantai Suluban 699, Patung Satria Gatot Kaca, Penangkaran Penyu Deluang Sari, Pura Peti Tenget, Pura Pucak Tedung, Pura Sadha, Pura Taman Ayun, Pura Uluwatu, Safari Kuda, Sangeh, Taman Reptil Indonesia Jaya, Tanah Wuk, Tanjung Benoa, Waka Tangga, Water Boom Park dan Wisata Agro Pelaga.

3. 9. Pusat Pemerintahan Mengwi Dengan Lansekap Pertanian
Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung yang baru dibangun di atas lahan seluas kurang lebih 44 Ha di Kecamatan Mengwi, Badung tengah. Kawasan ini dibangun secara terpadu dengan kelengkapan kantor pemerintahan daerah baik eksekutif maupun legislatif serta sarana ibadah dan rekreasi. Lingkungannya tertata asri dengan nuansa alam pedesaan karena hadirnya sawah lengkap dengan sistem perairan subak yang sengaja dipertahankan. Arsitekturnya sepenuhnya menggunakan karakter lokal Bali. Kehadiran Pusat Pemerintahan ini diharapkan dapat menjadi contoh dari penataan kawasan dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Di kawasan ini terasa sekali keseimbangan antara aspek sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan.

4.Kesimpulan dan Saran
4.1Kesimpulan
Berdasarkan informasi mengenai penerapan manajemen perkotaan yang berbasis tata ruang di Kabupaten Badung, maka dapat kita ambil suatu kesimpulan bahwa pengembangan wilayah Kabupaten Badung yang berprinsip “trihita karana” dan mengacu pada potensi, kendala aspek fisik lingkungannya, karakteristik topografi dan kelerengannya sangat membantu Pemerintah daerah dalam mengelola dan menciptakan kebijakan pengembangan wilayahnya secara komprehensif. Selain itu, pemanfaatan potensi alam yang memiliki nilai keindahan untuk mengembangkan Sektor Jasa Pariwisata merupakan keunggulan yang bersifat jangka panjang. hal ini karena karakteristik industri pariwisata adalah bersifat non-destruktif apabila dalam pengelolannya memperhatikan aspek-aspek konservasi alam seperti misi di bidang Palemahan.
4.2 Saran:
Berdasarkan hasil kajian yang penulis lakukan, terdapat sejumlah rekomendasi guna memperkuat dan mengembangkan Program yang ada di Kabupaten Badung di masa yang aka datang.
Pembenahan Sistem Pengawasan dan Pelaksanaan Program
Dari hasil pengamatan langsung penulis di Wilayah Badung Selatan, terutama Kawasan Kuta, Manajemen pengelolaan sampah masih belum dilaksanakan dengan baik, hal ini terlihat masih banyaknya sampah organik yang menumpuk di pinggir pantai yang tentunya sangat ironis dengan pencitraan Kuta sebagai tempat tujuan wisata yang berstandar internasional. Kabupaten Badung seharusnya mulai menerapkan manajemen pengelolaan sampah sebagaimana yang dilakukan oleh Kabupaten Sragen.
Aspek Kepemimpinan
Kemampuan Kepala Daerah (Bupati/Wakil Bupati) beserta aparat untuk melibatkan organisasi lokal seperti lembaga dan tokoh masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan pihak-pihak terkait lainnya dalam penyusunan prioritas juga dalam pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program. Dengan keterlibatan semua pihak dalam program, maka akan berdampak positif terhadap dukungan politik masyarakat, motivasi dan penerimaan masyarakat terhadap program, struktur sosial dan budaya lokal yang akomodatif, merupakan faktor yang sangat menentukan keberhasilan program.
Transparansi Sistem Informasi Program Inovasi
Masyarakat Kabupaten Badung tidaklah selalu positif dalam menerima program pemerintah yang dilaksakan. Hal ini dapat disebabkan oleh: (1) Perbedaan persepsi tentang dasar hukum terhadap tujuan dan mekanisme pelaksanaan program, (2) tidak transparannya pengelolaan dana program kepada masyarakat, (3) Konflik kepentingan antar pihak-pihak yang merasa Untuk mengatasi kondisi tersebut, perlu dibuat sistem informasi program yang memberikan informasi kepada masyarakat tentang dasar hukum pelaksanaan program, rencana dan realisasi program, sumber pendanaan dan pemakaian dana program. Sistem informasi program ini secara berkala dan dalam media tertentu memberikan informasi kepada tentang hal-hal tersebut. Dalam sistem ini masyarakat juga dimungkinkan untuk mengetahui secara detail hal-hal yang tidak atau belum diinformasikan.

Sistem Integritas Daerah Badung (SID-Badung)
Untuk mendukung terlaksananya program inovasi daerah dan dalam rangka memotivasi aparat daerah perlu kiranya dilakukan kesepakatan dalam dukumen tertulis antara Bupati, Kepala-kepala Dinas dan organisasi-organisasi terkait untuk melaksanakan tata pemerintahan yang bersih , transparan, efisien dan partisipatif. Dokumen yang merupakan Sistem Integritas Daerah Badung memuat antara lain pinsip-prinsip dasar tata pemerintahan yang baik, program-program inovasi unggulan yang menjadi target, mekanisme pengaduan masyarakat, hak dan kewajiban pemerintah dan masyarakat serta pihak-pihak lain, prosedur dan sanksi yang dapaat dijatuhkan. Prinsip dasar SID-Badung adalah memperkokoh kesamaan visi, komitmen dan kepastian hukum dalam pelaksanaan program inovasi.




Daftar Pustaka
Nurmandi, Achmad, 2006, Manajemen Perkotaan, Yogyakarta, Sinergi Publishing

Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan dan Azwar Hasan, 2004, Reformasi Birokrasi dalam Praktek : Kasus di Kabupaten Jembrana, Depok: Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota FISIP UI.

Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan dan Defny Holidin, 2007, Reformasi dan Inovasi Birokrasi: Studi di Kabupaten Sragen, Depok: Yappika dan Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI

Diakses dari http://www.badungkab.go.id, pada 9 Mei 2010, Pukul 20.00 WIB.

Program Inovasi Birokrasi di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur

“Inovasi Birokrasi di Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur”
Oleh : Muhammad Hilmi

Pendahuluan

Setelah Indonesia memasuki babak baru yaitu Era Reformasi, mulailah timbul beberapa wacana dari beberapa pemerintah daerah untuk menerapkan otonomi daerah. Hal ini kemudian disambut dan dikaji dengan mendalam oleh Pemerintah Pusat yang akhirnya berhasil dengan dibuatnya dan diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang seiring dengan dinamika dalam pelaksanaan otonomi daerah akhirnya digantikan oleh UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Setelah diberlakukannya UU No.22 Tahun 1999 dan UU No.32 Tahun 2004 maka banyak bermunculan beberapa inovasi program yang dibuat dan dilaksanakan oleh Pemerintahan Daerah Otonom dalam rangka memberikan pelayanan dan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat di daerahnya. Kondisi ini tentu saja menjadi hal positif dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Selain itu, diungkapkan oleh Rondinelli, dikutip dari Prasojo, Kurniawan dan Holidin dalam bukunya (Reformasi dan Inovasi Birokrasi, studi di Kab. Sragen, Hal.3; 2007) bahwa Desentralisasi dilaksanakan sebagai cara dalam mengatasi kegagalan akibat perencanaan dan manajemen yang terpusat serta tidak fleksibel-nya dan tidak tanggapnya birokrasi pusat; agar program pembangunan sesuai dengan kondisi lokal, memperoleh dukungan dan keterlibatan dari administrator dan masyarakat lokal serta terintegrasi dengan sejumlah layanan yang dibutuhkan untuk menstimulasikan pengembangan ekonomi di daerah khususnya pedesaan; dilihat penting untuk meningkatkan efektivitas baik pemerintah pusat, maupun kemampuan unit administratif di tingkat lokal dalam menyampaikan pelayanan yang dibutuhkan dalam pengembangan, khususnya di wilayah miskin dan pedesaan; serta dilihat sebagai sebuah alternatif cara dalam mengkoordinasikan aktivitas di tingkat provinsi atau lokal untuk menyelesaikan masalah sosial, politik, atau ekonomi secara cepat.
Dalam karya tulis ini penulis ingin membahas mengenai inovasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro terutama dalam bidang akuntabilitas publik, berikut ini adalah gambaran singkat mengenai Profil Kabupaten Bojonegoro.
Selayang Pandang Kabupaten Bojonegoro
Kabupaten Bojonegoro memiliki luas sejumlah 230.706 Ha, dengan jumlah penduduk sebesar 1.176.386 jiwa merupakan bagian dari Wilayah Propinsi Jawa Timur dengan jarak ± 110 Km dari Ibukota Propinsi Jawa Timur. Topografi Kabupaten Bojonegoro menunjukkan bahwa di sepanjang daerah aliran Sungai Bengawan Solo merupakan daerah dataran rendah, sedangkan di bagian Selatan merupakan dataran tinggi disepanjang kawasan Gunung Pandan, Kramat dan Gajah.
Dari wilayah tersebut diatas, sebanyak 40,15 persen merupakan hutan negara, sedangkan yang digunakan untuk sawah tercatat sekitar 32,58 persen.
Sebagai daerah yang beriklim tropis, Kabupaten Bojonegoro hanya mengenal dua musim yaitu musim kemarau dan musim penghujan.
Untuk memonitor rata-rata curah hujan yang jatuh, di Kabupaten Bojonegoro tersedia sebanyak 22 buah stasiun penangkar hujan yang tersebar di 16 Kecamatan. Dari pantauan tersebut, tercatat jumlah hari hujan di Kabupaten Bojonegoro pada periode 3 tahun terakhir sejak tahun 2004 tercatat sebesar 60 hari, pada tahun 2005 naik menjadi 64 hari dan pada tahun 2006 turun lagi menjadi 61 hari. Sedangkan rata-rata curah hujan yang dimonitor oleh 16 stasiun pengangkar hujan di atas, menunjukkan adanya keterkaitan dengan jumlah hari hujan. Tercatat, rata-rata curah hujan pada tahun 2004 sebanyak 106 mm, tahun 2005 naik sebanyak 146 mm dan pada tahun 2006 turun sebanyak 120 mm.
Sementara itu, untuk menanggulangi kekurangan air untuk keperluan pengairan lahan pertanian di musim kemarau, dilakukan dengan cara menaikkan air dari Sungai Bengawan Solo melalui pompanisasi. Pompanisasi ini tersebar di 8 kecamatan yang meliputi 24 desa.
Batas wilayah
Utara : berbatasan dengan Kabupaten Tuban
Timur : berbatasan dengan Kabupaten Lamongan
Selatan : berbatasan dengan Kabupaten Madiun, Nganjuk dan Jombang
Barat : berbatasan dengan Kabupaten Ngawi dan Blora (Jawa Tengah)
Letak Geografis
Bujur Timur : 111º25' dan 112º09'
Lintang Selatan : 6º59' dan 7º37'
Uraian
Dataran rendah : 18,71 persen pada ketinggian dibawah 25 m (Pusat Kota +15 m dpl)
Dataran tinggi : 81,29 persen pada ketinggian 25 m dpl
Kemiringan : < 2 % merupakan yang terluas, 2 s.d 14,99 % meliputi 36,16 persen wilayah > 15 persen merupakan 8,74 persen wilayah.
Penggunaan Tanah
1.Tanah sawah :32,65%
2.Tanah kering :24,39%
3.Hutan negara :42,74%
4.Perkebunan :0,04%
5.Lain-lain :0,18%
Visi & Misi Kabupaten Bojonegoro

Visi :
Kabupaten Bojonegoro yang mandiri, produktif yang berdaya saing kuat, sejahtera dan lestari
Misi :
Pemberdayaan masyarakat dan mengoptimalkan potensi daerah
Pemberdayaan ekonomi rakyat dan menumbuhkan jiwa kewirausahaan
Mengoptimalkan pendayagunaan teknologi tepat guna
Peningkatan taraf hidup masyarakat yang berlandaskan iman dan taqwa
Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan
Best Practice:
“Kabupaten Bojonegoro, Peraih Kategori Khusus Bidang Akuntabilitas Publik”

Selama delapan kali perhelatan Otonomi Awards, baru tahun ini Kabupaten Bojonegoro berhasil meraih penghargaan. Mereka mengangkat trophi bidang akuntabilitas publik. Apa inovasinya? Berikut laporan peneliti The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP) Gandha Widyo Prabowo.
Selesai menunaikan salat Jumat, ada pemandangan yang tidak biasa di Pendapa Kabupaten Bojonegoro. Satu per satu warga berdatangan menuju ke Pendapa Malowopati. Dalam hitungan menit, bangku kosong terisi. Ratusan warga berkumpul di pendapa milik kabupaten itu.

Sekitar pukul 13.00 WIB, Bupati Bojonegoro Suyoto, ditemani Pejabat Pemkab Bojonegoro yang lain hadir di Pendapa dan menyapa hadirin. Acara setelah salat Jumat itu adalah dialog publik antar pemegang amanat pemerintahan dengan rakyat. Acara pasca Jumatan itu kini menjadi tradisi. Inovasi mengadakan dialog publik itulah yang berhasil membuat “Bumi Angling Dharma”, sebutan untuk Kabupaten Bojonegoro yang memenangi penghargaan Otonomi Awards 2009.

Kali pertama dialog publik dilaksanakan pada Jumat, 14 Maret 2008, atau dua hari setelah Suyoto dilantik menjadi bupati. Itu merupakan komitmen politiknya untuk menjalankan transparansi di pemerintahannya. Kuncinya adalah dialog dengan masyarakat untuk mengetahui informasi dan aspirasi yang sebenar-benarnya.

Dialog publik yang pertama itu dihadiri sekitar 500 orang. Karena itu, banyak warga yang tidak kebagian tempat duduk. Kala itu, suasananya menegangkan. Sebab, banyak warga yang menumpahkan kemarahan kepada pejabat pemkab. ''Awalnya itu panas. Semua orang ingin menumpahkan keluhannya yang selama ini terpendam,'' kenang Suyoto.

Dialog dilaksanakan dua jam, pukul 13.00-15.00 WIB. Tidak hanya itu, dialog tersebut juga disiarkan secara langsung oleh dua radio lokal. Yaitu, radio Madani FM milik swasta dan radio Malowopati FM milik Pemkab Bojonegoro.


Selain siaran langsung, dua radio tersebut memutar ulang rekaman dialog publik itu pada hari Minggu. Di Radio Malowopati diudarakan pada pukul 10.00 WIB dan di Radio Madani pukul 16.00 WIB.
Hingga akhir 2008, dialog publik diadakan 33 kali. Peniadaan (baca: libur) dialog publik hanya bisa dilakukan dengan persetujuan warga. Tidak boleh hanya dengan keputusan sepihak dari Pemkab. Misalnya, libur karena ada musibah banjir atau hari besar keagamaan.

''Dialog publik akan terus diselenggarakan hingga tidak ada satu pun masyarakat yang datang ke dialog publik ini," tegas Suyoto dengan penuh keyakinan.

Lalu, bagaimana keberlanjutan dialog publik itu? Untuk menjamin keberlanjutannya, Pemkab sudah membuat dasar hukum. Yakni, melalui Surat Keputusan (SK) Bupati Bojonegoro Nomor 188/305/KEP/412.12/2008 tentang Dialog Publik antara Pemkab Bojonegoro dan Masyarakat Kabupaten Bojonegoro.

Kemudian, dari SK tersebut diterjemahkan dengan SK Kepala Dinas Infokom Kabupaten Bojonegoro Nomor 3 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penyampaian Informasi dan Sosialisasi Dinas Infokom Kabupaten Bojonegoro.

SMS dan Email

Dialog publik yang dilaksanakan Pemkab Bojonegoro merupakan inovasi yang layak ditiru oleh pemerintah daerah lain di Indonesia. Selain efektif, biaya yang dikeluarkan juga sangat minim. Pemkab hanya menyediakan air minum dalam kemasan untuk warga yang hadir. Itu pun biasanya merupakan sumbangan dari swasta. Di forum itu masyarakat memiliki kesempatan bertemu dengan kepala daerahnya. Bertukar pikiran, mengkritik, atau turut mengawasi proyek Pemkab menjadi hal yang biasa ditemui di forum tersebut.

Selain bertatap muka secara langsung, bupati juga membuka akses informasi lewat SMS (Short Message Service) dan e-mail. Kedua media itu diperuntukkan bagi masyarakat yang mau menyampaikan uneg-uneg terkait segala permasalahan pembangunan di Kabupaten Bojonegoro.

Warga bisa mengirimkan pengaduan via SMS (short message service) di nomor 08113406688. SMS yang dikirim akan dibalas langsung oleh bupati yang akrab dipanggil Kang Yoto itu.

Ada dua respons dari SMS yang masuk. Pertama, bupati memberikan tanggapan langsung kepada pengirim tentang tindak lanjut yang akan dilakukan. Kedua, bupati memberi tahu wakil bupati, dinas infokom, dan dinas terkait agar masalah yang diadukan warga dapat segera teratasi. Termasuk ke instansi vertikal, seperti polisi dan kejaksaan, jika ada indikasi delik pidana.

Seperti SMS yang ditunjukkan kepada tim JPIP (2/7), ada warga Bojonegoro yang duduk di SMP menyarankan untuk membuka pabrik di daerah asalnya di Desa Sukorejo, Kecamatan Tambakrejo. Sebab, dia melihat daerah tersebut berpotensi dari sisi ekonomi. Sementara masih banyak masyarakat yang belum bekerja. Pesan itu kemudian diteruskan kepada dinas terkait untuk dikaji lebih lanjut.

Awalnya, ketika pengaduan via SMS ini baru diumumkan kepada publik, Suyoto menerima lebih dari 300 SMS setiap hari. ''Saya baru bisa tidur dini hari pukul 02.00,'' kenang Suyoto yang juga mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Gresik. Konsekuensinya, dia meluangkan waktu sampai dua jam untuk membalas SMS yang masuk.

Selain lewat SMS, warga bisa menyampaikan pengaduan melalui e-mail. Alamatnya; kangyoto_bjn@yahoo.com. dengan SMS, e-mail pun akan dibalas langsung oleh bupati. (e-mail: gandha@jpip.or.id This email address is being protected from spam bots, you need Javascript enabled to view it )JawaPos.Com:Senin, 20 Juli 2009
Teori:
Latar Belakang: Pentingnya Inovasi Pemerintahan Daerah di Era Otonomi Daerah

Dengan mengacu pada penjelasan singkat di atas, kita dapat melihat bahwa inovasi yang telah dilaksanakan oleh sejumlah Daerah seperti Kabupaten Bojonegoro dan daerah lainnya dalam bidang akuntabilitas publik merupakan suatu hal yang perlu untuk dicontoh oleh daerah lainnya di Indonesia. Inovasi bagi sebuah Pemerintahan Daerah merupakan suatu keharusan dalam upaya mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat dan daerahnya, terlebih di era Otonomi Daerah memiliki kewenangan yang besar untuk menentukan apapun yang menurut Daerah tepat dan sesuai dengan kondisi Daerahnya.
Dibutuhkan informasi yang memadai dan komprehensif mengenai inovasi-inovasi program yang telah ada disejumlah Daerah yang terbukti memiliki inovasi dan berhasil melaksanakannya untuk dapat memotivasi daerah lainnya agar mau dan mampu melaksanakan program inovasi di daerahnya. Karenanya dibutuhkan kajian yang spesifik untuk mendokumentasikan inovasi program apa saja yang ada di daerah tersebut beserta gambaran mengenai bagaimana inovasi program tersebut diinisiasikan dan dikelola serta sejauhmana inovasi program tersebut berhasil dalam pelaksanannya.
Kajian dan analisa semacam ini juga diperlukan bagi Daerah yang dinilai inovatif dan berhasil tersebut dalam rangka perbaikan dan pengembangan lebih lanjut dari inovasi program yang mereka miliki. Karena sebagaimana dikemukakan dalam sejumlah teori yang ada, sebuah inovasi merupakan proses yang dimulai dengan keinginan untuk menjadi lebih baik yang kemudian dilanjutkan dengan usaha untuk mewujudkannya dan membuatnya berjalan dengan baik. Inovasi sangat terkait dengan penemuan (invention), dimana secara umum inovasi muncul dari sebuah proses trial and error dan bukan dari sebuah perencanaan besar (Tabor, 2002) dikutip dari Prasojo, Kurniawan dan Holidin dalam bukunya (Reformasi dan Inovasi Birokrasi, studi di Kab. Sragen, Hal.4; 2007).

Inovasi dan Best Practices: Sebuah langkah maju untuk Melayani Masyarakat
Dalam pelaksanaan kajian mengenai Inovasi Program di Kabupaten Bojonegoro ini, penulis tetap menggunakan kerangka pemikiran inovasi berdasarkan dari sejumlah literatur mengenai inovasi, salah satunya adalah definisi dari Mulgan dan Albury (2003) sebagaimana dikutip dari dari Prasojo, Kurniawan dan Holidin dalam bukunya (Reformasi dan Inovasi Birokrasi, studi di Kab. Sragen, Hal.5; 2007). inovasi yang berhasil menurut Mulgan dan Albury (2003) adalah pembentukan dan implementasi dari proses, produk, jasa dan metode baru yang dapat menghasilkan peningkatan yang signifikan terhadap efisiensi, efektivitas atau kualitas keluaran dalam penyampaian layanan.
Berdasarkan definisi dari Mulgan dan Albury di atas terlihat bahwa sebuah inovasi biasanya akan terkait dengan penciptaan entah itu proses, produk, jasa dan metode baru dalam kegiatan penyampaian layanan yang terbukti dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan kualitas dari kegiatan penyampaian dari layanan tersebut. Dengan demikian sebuah inovasi mengindikasikan sebuah proses yang memiliki ruang lingkup luas dan proses yang lama sebagaimana diungkapkan Leadbeater (2003) dalam IDeA (2005) bahwa proses inovasi memakan waktu lama, serta bersifat interaktif dan sosial dimana akan melibatkan banyak orang yang memiliki bakat, keahlian dan sumberdaya yang berbeda secara bersama-sama.
Terkait dengan inovasi tersebut, Prasojo, Kurniawan dan Holidin dalam bukunya (Reformasi dan Inovasi Birokrasi, studi di Kab. Sragen, Hal.6; 2007) dikutip dari Baker (2002) dalam IDeA (2005) mengemukakan mengenai tiga tipe inovasi. Tiga tipe inovasi tersebut kemudian ditambahkan oleh IDeA (2005) menjadi lima tipe inovasi. Kelima tipe menurut Baker dan IDeA adalah inovasi yang terkait dengan:
1)Strategi/kebijakan misalnya misi, sasaran, strategi dan pertimbangan baru;
2)Pelayanan/produk misalnya perubahan fitur dan desain dari pelayanan/produk;
3)Penyampaian layanan misalnya perubahan atau cara baru dalam penyampaian layanan atau dalam berinteraksi dengan klien;
4)Proses misalnya prosedur internal, kebijakan dan bentuk organisasi baru; serta
5)Sistem Interaksi misalnya cara baru atau perbaikannya yang berbasis pengetahuan dalam berinteraksi dengan aktor lain serta perubahan dalam cara menjalankan pemerintahan.
Dengan merujuk kepada sejumlah pemahaman mengenai inovasi di atas, maka dapat dikatakan bahwa sebuah program yang inovatif biasanya akan menjadi best practices. Hal ini sejalan dengan pendapat dari UN Habitat yang mendefinisikan best practises dalam konteks Lingkungan Perkotaan sebagai inisiatif yang telah menghasilkan kontribusi menonjol (outstanding contribution) dalam meningkatkan kualitas kehidupan baik di kota-kota maupun di masyarakat umum lainnya. Elaborasi lebih lanjut terhadap definisi tersebut dilakukan oleh UN sebagai inisiatif yang telah terbukti sukses, yakni (Dubai Municipality, 2003):
1.Memiliki dampak yang dapat ditunjukkan dan didemonstrasikan dalam meningkatkan kualitas kehidupam masyarakat.
2.Merupakan hasil dari kerjasama yang efektif antara sektor publik, sektor swasta dan masyarakat madani; serta
3.Berkelanjutan secara sosial, budaya, ekonomi, dan lingkungan.
Dari definisi menurut UN tersebut dapat dilihat bahwa penekanan best practices terletak pada kontribusi menonjol (outstanding contributions) dari sebuah inisiatif dalam meningkatkan “kualitas kehidupan” masyarakat serta adannya bukti nyata suksesnya inisiatif tersebut dilihat dari dampak, proses, dan keberlanjutannya.
Sebagai sebuah instrument, best practices diperkenalkan dan digunakan oleh UN sebagai alat untuk meningkatkan kualitas kebijakan publik yang didasarkan atas apa yang terjadi di lapangan; meningkatkan kepedulian para pengambil kebijakan dan masyarakat umum terhadap solusi potensial dari masalah bersama di bidang sosial, ekonomi, dan lingkungan; serta dalam upaya membagi dan mentransfer pengetahuan, keahlian dan pengalaman melalui sebuah jaringan kerjasama dan pembelajaran berantai (peer to peer learning).
Dengan alasan tersebut dan kemungkinan bagi sebuah inovasi program untuk direplikasikan di Daerah lain, maka instrument best practices dipilih untuk digunakan dalam menilai inovasi program yang ada dan dilakukan oleh Pemerintahan Kabupaten Bojonegoro. Instrumen ini untuk kemudian dimodifikasi dalam rangka menilai level inovasi dan kinerja dari inovasi program yang ada di Kabupaten Bojonegoro.
Adapun kriteria best practices menurut UN terdiri atas:
1.Dampak (impact), sebuah best practices harus menunjukkan sebuah dampak positif dan dapat dilihat (tangible) dalam meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan tidak beruntung
2.Kemitraan (partnership), sebuah best practices harus didasarkan pada sebuah kemitraan antara aktor-aktor yang terlibat. Setidaknya melibatkan dua pihak
3.Keberlanjutan (sustainability), sebuah best practices harus membawa perubahan dasar dalam wilayah permasalahan berikut:
- Legislasi, kerangka pengaturan oleh hukum atau standar formal yang menghargai isu-isu dan masalah yang dihadapi.
-Kebijakan sosial dan atau strategi sektoral di daerah yang memiliki potensi bagi adanya replikasi dimanapun.
-Kerangka Institusional dan proses pembuatan kebijakan yang memiliki kejelasan peran dan tanggung jawab bagi beragam tingkatan dan kelompok aktor seperti pemerintah pusat dan daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi masyarakat.
-Efisien, transparan, dan sistem manajemen yang akuntabel yang dapat membuat lebih efektif penggunaan sumber daya manusia, teknik dan keuangan.
4.Kepemimpinan dan pemberdayaan masyarakat (leadership and community empowerment), yakni:
- Kepemimpinan yang menginspirasikan bagi adanya tindakan dan perubahan, termasuk di dalamnya perubahan dalam kebijakan publik.
- Pemberdayaan masyarakat, rukun tetangga dan komunitas lainnya serta penyatuan terhadap kontribusi yang dilakukan oleh masyarakat tersebut
- Penerimaan dan bertanggung jawab terhadap perbedaan sosial dan budaya
- Kemungkinan bagi adanya transfer (transferability), pengembangan lebih lanjut dan replikasi.
- Tepat bagi kondisi lokal dan tingkat pembangunan yang ada
5.Kesetaraan Gender dan Pengecualian Sosial (gender equality & social inclusion), yakni inisiatif haruslah dapat diterima dan merupakan respon terhadap perbedaan sosial dan budaya; mempromosikan kesetaraan dan keadilan sosial atas dasar pendapatan, jenis kelamin, usia, dan kondisi fisik/mental; serta mengakui dan memberikan nilai terhadap kemampuan yang berbeda
6.Inovasi dalam konteks lokal dan dapat ditransfer (innovation within local context & transferability), yakni bagaimana pihak lain dapat belajar atau memperoleh keuntungan dari inisiatif, serta cara yang digunakan untuk membagi dan mentransfer pengetahuan, keahlian dan pelajaran untuk dapat dipelajari tersebut.

Pembahasan
Pemerintahan Kabupaten Bojonegoro di bawah kepemimpinan Bupati H. Suyoto telah melaksanakan program inovasi dalam bidang akuntabilitas publik dengan cara melakukan dialog publik langsung setiap hari jumat setelah melaksanakan shalat Jumat, yang bertempat di Pendopo Malowopati. Program ini dilaksanakan secara rutin berdasarkan Surat Keputusan (SK) Bupati Bojonegoro Nomor 188/305/KEP/412.12/2008 tentang Dialog Publik antara Pemkab Bojonegoro dan Masyarakat Kabupaten Bojonegoro. Kemudian SK tersebut diterjemahkan melalui SK Kepala Dinas Infokom Kabupaten Bojonegoro Nomor 3 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penyampaian Informasi dan Sosialisasi Dinas Infokom Kabupaten Bojonegoro
Program inovasi ini tidak berlebihan jika dikatakan sebagai program inovasi unggulan di Kabupaten Bojonegoro. Karena dengan melibatkan langsung masyarakat, pemerintah bisa bertukar pikiran, mendengarkan kritik dan saran kemudian meresponnya dengan cepat dalam bentuk program aksi nyata oleh Pemkab Bojonegoro akan membuat proses pembuatan kebijakan publik menjadi lebih efektif dan efisien. Dan hal ini juga sesuai dengan prinsip good governance yang menekankan partisipasi masyarakat (citizen) sebagai pemilik kedaulatan (principal) dalam hal pembuatan program yang difasilitasi oleh pemerintah sebagai pelaksana (agent), agar tidak terjadi a-simetric information (Simon; 1946).
Pada dasarnya, program inovasi dalam bidang akuntabilitas publik di Kabupaten Bojonegoro ini lokusnya berada di dalam (internal) institusi pemerintahan kabupaten yang melibatkan langsung pihak ekstenal (masyarakat) untuk menampung dan menanggapi aspirasi masyarakat kemudian ditindaklanjuti dengan melibatkan dinas yang terkait langsung dengan permasalahan yang sedang diungkapkan oleh masyarakat. Hal ini tentunya juga melalui tahapan kajian strategis pembangunan yang sesuai dengan Rencana Strategis (Renstra) Kabupaten Bojonegoro.
Berdasarkan fokusnya, program inovasi dalam bidang akuntabilitas publik ini lebih mengarah kepada peningkatan kapasitas pemerintah kabupaten itu sendiri dalam melayani masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan adanya program dialog publik setiap hari Jum'at dan pengaduan kritik dan saran melalui SMS (short massage service) dan e-mail dengan menghubungi alamat email dan nomor khusus yang telah disediakan oleh Pemkab Bojonegoro untuk menanggapi keluhan, kritikan dan saran dari masyarakat secara langsung.
Berdasarkan sasaran yang hendak dicapai, program inovasi dalam bidang akuntabilitas publik ini dilaksanakan untuk mencapai peningkatan efektivitas dan efisiensi organisasi/ aparat pemerintah kabupaten serta dalam rangka penanganan permasalahan-permasalahan sosial dan ekonomi masyarakat. Hal ini bisa dilihat pada saat pelaksanaan dialog publik di Pendopo Kabupaten Bojonegoro dengan masyarakat secara langsung memiliki dampak positif terhadap efisiensi biaya Pemkab Bojonegoro dalam menjaring aspirasi masyarakatnya (Jaring Asmara). Hanya dengan minuman air mineral sudah bisa terlaksana suatu dialog langsung antara masyarakat dan kepala daerahnya. Selain itu, permasalahan sosial dan ekonomi yang dihadapi masyarakat juga bisa dicarikan solusinya dengan cara melibatkan langsung masyarakat sehingga kemungkinan kecil terjadinya resistensi dari masyarakat pada saat pelaksanaan kebijakan oleh Pemda Bojonegoro.
Berdasarkan metode pelaksanannya, program inovasi ini dilaksanakan dengan metode pelibatan masyarakat secara dominan dalam dialog publik di Pendopo Kabupaten Bojonegoro, dengan melibatkan dinas-dinas yang ada di Kota tersebut yang bertujuan untuk memperkuat jalinan silaturrahmi dan dalam rangka membangun relasi antar aktor dalam pelaksanaan good governance.
Berkaca dari pendapat UN Habitat yang mendefinisikan best practices dalam konteks Lingkungan Perkotaan sebagai inisiatif yang telah menghasilkan kontribusi menonjol (outstanding contribution) dalam meningkatkan kualitas kehidupan baik di kota-kota maupun di masyarakat umumnya. Pelaksanaan program inovasi di bidang akuntabilitas publik ini memiliki dampak positif yang bisa langsung dirasakan oleh masyarakat Kabupaten Bojonegoro yang lebih identik dengan masyarakat rural dalam hal meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat. Selain itu, tercipta hubungan kerjasama yang efektif antara sektor publik, sektor swasta dan masyarakat yang secara tidak langsung akan mempengaruhi iklim kehidupan sosial, budaya, ekonomi, lingkungan yang aman dan kondusif.
Dari sisi lainnya, analisa kriteria best practices menurut UN jika direplikasikan pada Program Inovasi bidang Akuntabilitas Publik di Kabupaten Bojonegoro adalah sebagai berikut:
Adapun kriteria best practices menurut UN terdiri atas:
1.Dampak (impact) dari program inovasi dalam bidang akuntabilitas publik di Kabupaten Bojonegoro menunjukkan sebuah dampak positif yang dapat dilihat (tangible) dalam meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan tidak beruntung. Hal ini bisa dilihat dengan pembangunan jalan raya kabupaten yang menghubungkan antara desa satu dengan desa lainnya, maupun kecamatan satu dengan kecamatan lainnya secara masif yang bertujuan untuk menggerakkan roda perekonomian masyarakat.
2.Dari segi kemitraan antar aktor, program inovasi ini berhasil membangun kemitraan (partnership) antara Birokrat, politisi, private firms, maupun masyarakat. Karena dengan adanya dialog publik seperti ini maka segala masalah yang berkaitan dengan tanggungjawab pemerintah kabupaten akan dibuka dan dibahas secara terbuka guna mendapatkan solusi yang solutif.
3. Dari segi keberlanjutan (sustainability), program inovasi di bidang akuntabilitas publik ini membawa perubahan dasar dalam wilayah permasalahan berikut:
- Legislasi, kerangka pengaturan oleh hukum atau standar formal yang menghargai isu-isu dan masalah yang dihadapi di Kabupaten Bojonegoro menjadi hal yang diprioritaskan dalam pembuatan kebijakan yang pro kepentingan rakyat. Hubungan yang sinergis antara Bupati dan DPRD tercipta dengan baik dalam upaya mensejahterakan masyarakatnya.
-Kebijakan sosial dan atau strategi sektoral di Kabupaten Bojonegoro memiliki potensi bagi adanya replikasi di daerah manapun yang memiliki niat untuk mengedepankan akuntabilitas publik.
-Kerangka Institusional dan proses pembuatan kebijakan yang dilaksanakan di Kabupaten Bojonegoro memiliki kejelasan peran dan tanggung jawab bagi beragam tingkatan dan kelompok aktor seperti pemerintah pusat dan daerah, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi masyarakat. Penerapan program inovasi di bidang akuntabilitas publik ini jelas mengarahkan manajemen pemerintahan yang Efisien, transparan, dan akuntabel yang dapat membuat lebih efektif
-Penggunaan sumber daya manusia, teknik dan keuangan. Terlebih saat ini Kabupaten Bojonegoro adalah salah satu Kabupaten yang memiliki potensi sumber daya alam berupa minyak bumi yang sangat melimpah sehingga pelaksanaan akuntabilitas publik adalah suatu keniscayaan.
4. Kepemimpinan dan Pemberdayaan Masyarakat (leadership and community empowerment).
Ketika Jabatan Bupati diemban oleh H. Suyoto, terdapat nilai kepemimpinan yang mampu menginspirasikan bagi adanya tindakan dan perubahan dalam kebijakan publik.
Pemberdayaan masyarakat juga mulai diperhatikan dengan serius dengan cara memberikan pelatihan kewirausahaan dalam membuat makanan khas Bojonegoro (kue ledre), maupun dalam bidang lainnya.
Perbedaan sosial dan budaya di Kabupaten Bojonegoro justru saling mendukung antara satu dengan lainnya. Nilai-nilai kebudayaan lokal juga terus berusaha untuk dijaga sebagai kearifan lokal (local wisdom), misalkan keberadaan Suku Samin di Kecamatan Kedung Adem merupakan bukti bahwa Bojonegoro juga menjaga eksistensi nilai budaya dalam kehidupan masyarakatnya.
Program Inovasi dalam bidang Akuntabilitas Publik di Kabupaten Bojonegoro ini sangat memungkinkan sekali untuk ditransfer ke daerah lain dan bisa juga dikembangkan lebih lanjut agar menjadi lebih baik lagi.
Kondisi lokal masyarakat Bojonegoro dan tingkat pembangunan sarana dan prasarana yang menunjang kehidupan perekonomian masyarakat pada periode sebelumnya yang belum menyentuh semua segi kehidupan masyarakatnya sudah seharusnya diubah dengan gaya kepemimpinan yang kuat dan kebijakan pro rakyat. Langkah penting yang harus dilakukan salah satunya adalah dengan menekankan pada akuntabilitas publik pada pemerintahan Pemkab Bojonegoro.
5. Kesetaraan Gender dan pengecualian sosial (gender equality & social inclusion) sudah mulai diterapkan, begitu juga dengan kesetaraan dan keadilan sosial.
6. Program Inovasi dalam konteks lokal di Pemerintahan Kabupaten Bojonegoro ini pada dasarnya bisa ditransfer dan direplikasi kepada Kabupaten-kabupaten lainnya, sekaligus dengan cara melakukan studi banding dalam rangka mempelajari sistem yang diterapkan di Kabupaten Bojonegoro kemudian diadaptasi di daerah lain.
Pemahaman Masyarakat terhadap Program
Aspek penting keberhasilan pelaksanaan program inovasi adalah pemahaman masyarakat terhadap tujuan kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Tingkat pemahaman masyarakat akan mempengaruhi kesadaran dan keterlibatan masyarakat baik dalam penyusunan maupun pelaksanaan program. Sedangkan tingkat pemahaman masyarakat akan ditentukan oleh penerimaan informasi pemerintah, baik melalui media dan mekanisme formal maupun informal. Dalam kasus Kabupaten Bojonegoro, pemahaman masyarakat terhadap program ditunjang oleh seringnya sosialisasi dan kunjungan langsung kepala daerah juga aparatnya ke desa-desa. Keberhasilan ini didukung oleh saluran komunikasi oleh dinas Infokom yang memanfaatkan jalur birokrasi sampai ke setiap camat dan kepala desa.
Pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap program menjadi penting, karena dalam jangka panjang program-program tersebut diarahkan untuk menciptakan kemandirian masyarakat. Misalkan masyarakat mengirim kritik atau saran kepada Pemerintah Kabupaten, maka akan dicarikan solusinya. Seperti masalah yang dihadapi adalah pengangguran, maka mulai diadakan pelatihan-pelatihan kewirausahaan oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Indagkop).
Partisipasi Masyarakat dalam penyusunan dan Pelaksanaan Program
sebagaimana dikutip dari Prasojo, Kurniawan dan Hasan dalam Reformasi Birokrasi dalam Praktek: Kasus di Kab. Jembrana, Hal.104; 2004), Berdasarkan locus-nya, partisipasi masyarakat pada dasarnya dapat dibagi dua yaitu (1) dalam penyusunan dan (2) dalam pelaksanaan program. Sedangkan berdasarkan aktornya dapat diklasifikasikan atas (1) partisipasi melalui organisasi profesi/formal terkait dan (2) partisipasi langsung oleh masyarakat umum. Untuk kasus Bojonegoro, terdapat perbedaan ukuran kuantitas partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan dialog Publik di Pendopo Kabupaten setiap hari Jum'at. Secara umum, untuk partisipasi masyarakat melalui SMS dan Email yang dijelaskan diatas, jumlahnya cukup tinggi yaitu kurang lebih 300 SMS setiap hari dan langsung dijawab oleh Bupati pada waktu yang ditentukan.
Ide pemilihan prioritas program berasal dari hasil masukan masyarakat kepada Bupati pada saat terjadi diskusi publik setiap hari Jumat. Elaborasi terhadap prioritas program dilakukan melalui diskusi dan koordinasi intensif antara Bupati dengan aparat terkait. Dalam tahapan selanjutnya, gagasan program berkembang dengan melibatkan organisasi formal masyarakat terkait. Dalam kasus penyusunan prioritas program olahraga misalnya, organisasi masyarakat yang menjadi mitra bicara pemerintah adalah kantor pusat pengembangan pemuda dan olahraga.

Peran Organisasi Lokal
Di Kabupaten Bojonegoro struktur organisasi pemerintahan masyarakat Desa, yaitu organisasi formal pemerintah (Kepala Desa, Camat) dan organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan (NU, Muhammadiyah, dll.). Jika struktur formal pemerintah melahirkan norma hukum negara, maka struktur organisasi sosial keagamaan melahirkan norma agama, kesopanan dan kesusilaan. Dalam pelaksanaan berbagai macam program pemerintah, kedua struktur ini menciptakan sinergi.

Dampak Program
Program Inovasi yang dilaksanakan di Kabupaten Bojonegoro dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan masyarakat. Program inovasi unggulan yang selama ini dijalankan adalah bidang akuntabilitas publik yang diikuti dengan perbaikan struktur dan proses birokrasi secara nyata merupakan realisasi dalam rangka peningkatan pelayanan masyarakat. Indikator-indikator keberhasilan dalam program inovasi akuntabilitas publik adalah semakin luasnya dukungan masyarakat terhadap program yang dijalankan oleh pemerintah Kabupaten Bojonegoro dan semakin kecilnya resistensi dari masyarakat.
Dalam bidang perekonomian, geliat perkembangan ekonomi masyarakat terlihat mengalami kemajuan yang cukup pesat. karena banyaknya investor yang menanamkan modalnya diberbagai bidang usaha sebagai dampak positif dari semakin cepatnya pelayanan perizinan, misalkan Bidang Perminyakan (Exxon Mobile), Industri Rokok Gudang Garam, Rokok Sampoerna, Supermarket Giant, Bravo dan investor lokal lainnya. Keberadaan perusahaan skala nasional dan internasional ini memiliki multiplier effect yang cukup tinggi terhadap perekonomian masyarakat Bojonegoro.
Secara politik keberhasilan Pemkab Bojonegoro dalam bidang akuntabilitas publik meningkatkan kepercayaan dan akseptansi masyarakat terhadap pemerintah daerah. Secara regional keberhasilan program di Kabupaten Bojonegoro akan memberikan dampak berganda dan best practices kepada daerah sekitarnya. Transaksi jual beli antar daerah di Bojonegoro dan daerah lainnya semakin meningkat. Kompetisi antar daerah untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat semakin kuat. Sedangkan secara nasional, keberhasilan program inovasi di Kabupaten Bojonegoro memberikan motivasi kepada daerah-daerah lain untuk melakukan hal serupa.

Dominasi Peran Bupati dalam Program Inovasi
Dalam struktur masyarakat Jawa pada umumnya, khususnya di Bojonegoro. Budaya “patron client” dan cenderung homogen. Maka dominasi peran Bupati dalam menentukan prioritas dan pelaksanaan program sangatlah penting.
Dominasi peran dan komitmen Bupati untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat merupakan sinergi sebagai faktor kunci keberhasilan program inovasi di Kabupaten Bojonegoro. Perubahan pola pikir dan budaya aparat birokrasi sedikit banyak dipengaruhi oleh kepemimpinan Bupati. Sehingga, dominasi peran dan komitmen Bupati memiliki korelasi positif terhadap motivasi aparat untuk melakukan perubahan. Kemampuan Bupati untuk memobilisasi dukungan aparat dalam program inovasi merupakan keniscayaan. Bahkan dalam banyak hal, keberlanjutan program inovasi di Kabupaten Bojonegoro sangat ditentukan oleh figur dan kepemimpinan Bupati pada periode yang akan datang.
Dalam masa transisi, keterlibatan penuh Bupati dalam menentukan program dan kegiatan pembangunan, termasuk menentukan ukuran dan material bangunan, merupakan upaya pembelajaran makna efisiensi dan efektivitas kepada aparat pemerintah daerah. Akan tetapi, dalam jangka panjang “pola manajemen yang sentralistis” akan melumpuhkan kreativitas human capital. Fungsi organisasi juga tidak berjalan semestinya oleh karena dominasi peran Bupati, termasuk dalam hal-hal yang bersifat teknis.(Prasojo, Kurniawan, Hasan, Hal.107; 2004)

Efisiensi dan Efektivitas Program Inovasi
Keberhasilan program inovasi di Kabupaten Bojonegoro sangat didukung oleh program efisiensi secara keseluruhan yang dilakukan oleh Bupati dan aparatnya. Dapat dipahami bahwa dengan keterbatasan sumber dana, maka hanya melalui program efisiensi program-program inovasi dapat dilaksanakan. Program dialog publik setiap Jum'at merupakan salah satu bentuk dari langkah efisiensi yang dilakukan oleh Pemkab. Dengan menggunakan dana yang sangat terbatas, program komunikasi antara masyarakat dan kepala daerahnya sudah bisa terlaksana dengan maksimal.
Paradigma efisiensi ini sedikit banyak akan bersinggungan dengan pola pikir lama sejumlah aparat. Efisiensi berdampak negatif terhadap “pendapat sampingan” aparat pemda sehingga secara laten menimbulkan resistensi, termasuk dalam proses pengadaan barang dan jasa. Karenanya proses penyamaan persepsi antara Bupati yang memiliki paradigma baru dengan segenap jajarannya akan sangat menunjang dalam pencapaian efisiensi anggaran yang diinginkan. Untuk mengurangi resistensi tersebut diterapkan sistem insentif tahunan yang diberikan secara merata.

Aspek Keberlanjutan Program
Program-program inovasi di Kabupaten Bojonegoro tidak bisa dipisahkan dari dominasi, peran, komitmen dan figur Bupati. Kenyataan ini positif untuk mendorong terjadinya perubahan di Kabupaten Bojonegoro. Pada sisi yang lain, hal ini juga menimbulkan kekhawatiran apakah program-program inovasi yang telah dilakukan dapat berlanjut apabila Bupati terpilih pada masa yang akan datang tidak memiliki komitmen serupa. Sampai saat ini program-program inovasi tersebut belum memiliki kerangka hukum yang mengikat dalam bentuk Peraturan Daerah, saat ini pelaksanaan program ini hanya atas Surat Keputusan (SK) Bupati Bojonegoro Nomor 188/305/KEP/412.12/2008 tentang Dialog Publik antara Pemkab Bojonegoro dan Masyarakat Kabupaten Bojonegoro.

REKOMENDASI

Pengembangan Inovasi di Kabupaten Bojonegoro
Demi keberlangsungan program inovasi di Kabupaten Bojonegoro agar menjadi lebih baik dimasa yang akan datang, ada beberapa rekomendasi/masukan yang diusulkan oleh penulis dari kajian pustaka ini.

Penguatan Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan Program
Berdasarkan hasil analisa terhadap pelaksanaan Dialog Publik selama ini yang berlangsung di Pendopo Kabupaten sejak dua hari setelah Bupati Suyoto terpilih, Jum'at 14 Maret 2008 sampai sekarang dirasa masih belum optimal. Oleh karena itu untuk meningkatkan partisipasi masyarakat Bojonegoro terhadap program akuntabilitas publik perlu dilakukan safari Bupati bergantian dari 1 kecamatan ke kecamatan yang lain, yaitu dengan cara membuat jadwal selama 1 tahun. Langkah ini juga sekaligus memberikan kesempatan kepada masyarakat Bojonegoro yang hidup jauh dari perkotaan dan kemungkinan kecil dia untuk bisa menyalurkan aspirasinya setiap hari Jum'at dengan pergi ke Kota Bojonegoro untuk mengikuti dialog publik dalam waktu hanya 2 jam. Safari Jum'at ini juga bisa membangun kedekatan antara Bupati dengan masyarakatnya, dan Bupati bisa melihat kondisi nyata kehidupan masyarakatnya.
Institusionalisasi Program
Dasar hukum pelaksanaan program inovasi masih berbentuk Surat Keputusan (SK) Bupati. Guna menjamin kepastian keberlanjutan program perlu peningkatan dasar hukumdalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA). Dalam jangka panjang, dengan dana APBD yang cukup besar sebagai dampak positif dari adanya eksplorasi minyak bumi oleh PT. Exxon Mobil, Pemerintah Daerah harus memiliki strategi yang jelas dalam upaya meningkatkan kemandirian, memberikan pelayanan dan kesejahteraan bagi masyarakat. Dalam bidang pendidikan misalnya, harus ada strategi bagaimana dalam jangka waktu 5-10 tahun sumberdaya manusia masyarakat Bojonegoro menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya, sehingga potensi sumberdaya alamnya bisa dikelola dengan memberdayakan putra daerahnya yang berkompeten.

Perbaikan Sistem secara Menyeluruh
Pelaksanaan program inovasi harus diikuti dengan perubahan sistem pemerintahan secara menyeluruh. Sistem keuangan daerah yang berlaku saat ini harus diperbaiki lagi sehingga benar-benar mencerminkan sistem keuangan daerah yang profesional dan akuntabel. Dalam hal lainnya, program efisiensi yang memotong banyak jalur birokrasi sangat berpotensi menimbulkan “api dalam sekam” jika tidak diikuti dengan perbaikan sistem insentif pegawai yang memadai (remunerasi).

Transparansi Sistem Informasi Program Inovasi
Tingkat akseptansi masyarakat terhadap program inovasi tidaklah selalu positif. Bahkan resistensi juga dapat timbul dari masyarakat terhadap program yang dilaksanakan. Hal ini dapat disebabkan oleh: (1) Perbedaan persepsi tentang dasar hukum terhadap tujuan dan mekanisme pelaksanaan program, (2) tidak transparannya pengelolaan dana program kepada masyarakat, (3) Konflik kepentingan antar pihak-pihak yang merasa dirugikan. Untuk mengatasi kondisi tersebut, perlu dibuat Sistem Informasi Program yang memberikan informasi kepada masyarakat tentang dasar hukum pelaksanaan program, rencana dan realisasi program, sumber pendanaan dan pemakaian dana program. Sistem Informasi Program ini secara berkala dan dalam media tertentu memberikan informasi kepada masyarakat tentang hal-hal tersebut. Dalam sistem ini masyarakat juga dimungkinkan untuk mengetahui secara detail hal-hal yang tidak atau belum diinformasikan. (Prasojo, Kurniawan, Hasan, Hal.112; 2004)

Sistem Integritas Daerah Bojonegoro (SID-Bojonegoro)
Untuk mendukung terlaksananya program inovasi daerah dan dalam rangka memotivasi aparat daerah perlu kiranya dilakukan kesepakatan dalam dokumen tertulis antara Bupati, Kepala-kepala Dinas dan organisasi-organisasi terkait untuk melaksanakan tata pemerintahan yang bersih, transparan, efisien dan partisipatif. Dokumen yang merupakan Sistem Integritas Daerah (SID) Bojonegoro memuat antara lain prinsip-prinsip dasar tata kepemerintahan yang baik, program-program inovasi unggulan yang menjadi target, mekanisme pengaduan masyarakat, hak dan kewajiban pemerintah dan masyarakat serta pihak-pihak lain, prosedur dan sanksi yang dapat dijatuhkan. Prinsip dasar SID-Bojonegoro adalah memperkokoh kesamaan visi, komitmen dan kepastian hukum dalam pelaksanaan program inovasi. (Prasojo, Kurniawan, Hasan, Hal.113; 2004)

Replikasi
Replikasi program inovasi di Kabupaten Jembrana oleh Daerah lain dapat dilakukan dengan mempertimbangkan sejumlah hal.
1)Political will and commitment dari Kepala Daerah untuk melaksanakan program. Dimulai dengan membangun kesamaan visi, misi dan tujuan dengan aparat birokrasi, kepercayaan dan keterlibatan birokrasi dalam pelaksanaan program sangat menentukan. Artinya kemauan dan komitmen politik dari Bupati saja tidak cukup tanpa dukungan dan motivasi aparat birokrasi untuk melaksanakan program tersebut. Apalagi jika terdapat sejumlah orang dalam internal birokrasi yang kontraproduktif terhadap gagasan dan pelaksanaan program.
2)Kemampuan Kepala Daerah beserta aparat untuk melibatkan organisasi lokal seperti lembaga dan tokoh masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan pihak-pihak terkait lainnya dalam penyusunan prioritas juga dalam pelaksanaan program. Dengan keterlibatan semua pihak dalam program, akan meningkatkan dukungan politik, motivasi dan penerimaan masyarakat terhadap program. Struktur sosial dan budaya lokal yang akomodatif, merupakan faktor penguat keberhasilan program.
3)Pelajaran yang dapat diambil dari Bojonegoro adalah program akuntabilitas publik berupa dialog publik langsung antara Bupati dan masyarakatnya secara rutin setiap hari Jum'at, Pukul 13.00 – 15.00 WIB, di Pendopo Kabupaten. Untuk itu diperlukan komitmen yang kuat dari Bupati untuk terus meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap program ini dan komitmen untuk menindaklanjutinya dengan segera.
4)Pemilihan Prioritas Program. Di banyak daerah, pembangunan pendidikan seringkali terabaikan dan kalah oleh pembangunan fisik lainnya. Dengan kata lain, pembangunan non fisik seperti pendidikan, kesehatan dan peningkatan daya beli masyarakat belum menjadi prioritas bagi kebanyakan daerah. Di Kabupaten Bojonegoro, dengan berpedoman kepada human development index (HDI), seharusnya Bupati sebagai Kepala daerah menjadikan program pendidikan, kesehatan dan peningkatan daya beli masyarakat sebagai prioritas pembangunan. Keberhasilan program-program inovasi ini sangat mudah dipahami, karena bidang-bidang tersebut merupakan bidang yang sangat dekat dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Dengan kata lain, replikasi program inovasi di Kabupaten Bojonegoro oleh daerah lain harus memperhatikan empat faktor berpengaruh seperti telah dijelaskan diatas yaitu (1) Komitmen kepala daerah dan aparat birokrasi (2) keterlibatan semua stakeholders yang ada dalam masyarakat (3) Komitmen untuk efisiensi di semua sektor dan (4) pemilihan prioritas program yang akan dilakukan. Hal ini tentunya harus disesuaikan dengan kondisi masyarakat lokal setempat. Tetapi keempat kunci ini pada dasarnya bersifat universal dan dimiliki oleh semua daerah. (Prasojo, Kurniawan, Hasan, Hal.115; 2004)

Daftar Pustaka:
Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan dan Azwar Hasan, 2004, Reformasi Birokrasi dalam Praktek: Kasus di Kabupaten Jembrana, Depok: Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota FISIP UI.

Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan dan Defny Holidin, 2007, Reformasi dan Inovasi Birokrasi: Studi di Kabupaten Sragen, Depok, Yappika dan Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI.

Diakses dari: http://www.ombudsman-asahan.org/index.php option=com_content&task=view&id=941&Itemid=9, diakses pada tanggal 10 Mei 2010, pukul 22.00 WIB.
Diakses dari: http;//www.jawapos.com:Senin, 20 Juli 2009, diakses pada tanggal 10 Mei 2010, pukul 22.00 WIB.